Kesehatan dan keamanan pangan merupakan hak mendasar bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, dan keterjangkauan, serta pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang. Merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, (Undang-Undang RI tentang Pangan No 18 Tahun 2012).
Keamanan pangan dapat pula berarti menjaga dan meningkatkan harapan hidup masyarakat Indonesia. Pada 2014 The World Factbook, Central Intelligence Agency (CIA) merilis angka harapan hidup tahun 2014 untuk sejumlah negara-negara di dunia. Dalam versi CIA tersebut, Indonesia berada di peringkat 137 dengan usia harapan hidup 72,17 tahun, dimana rata-rata harapan hidup masyarakat Indonesia berada jauh di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, Vietnam, Philipina yakni masing-masing 84, 38, 76, 77, 74, 52, 74, 18, 72, 91, 72, 48 tahun. Bahkan, harapan hidup masyarakat Indonesia dianggap lebih rendah dibandingkan masyarakat di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang kerap berkonflik, dimana usia harapan hidupnya masing-masing 75, 69 tahun dan 74, 64 tahun.
Pemerintah, dalam rangka meningkatkan usia harapan hidup masyarakat Indonesia, terus berupaya mengatur ketersediaan dan keterjangkauan produk-produk pangan yang aman, sehat dan bergizi terutama yang menjadi konsumsi rutin dan dalam volume yang relatif tinggi oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. Produk-produk pangan yang dikonsumsi secara rutin tersebut telah ditetapkan pemerintah sebagai bagian dari sembilan kebutuhan bahan pokok masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai sembako (Kepmenperindag Nomor 115 tahun 1998, yakni beras, gula pasir, minyak goreng dan mentega, daging sapi dan ayam, telur ayam, susu, jagung, minyak tanah dan garam beryodium)
Minyak goreng yang dikonsumsi masyarakat Indonesia sebagian besar berasal dari sumber bahan baku sawit (minyak goreng sawit). Adapun konsumsi minyak goreng sawit non industri atau rumah tangga secara nasional saat ini mencapai 4444 juta ton per tahun, dimana 16,35% konsumsi dalam bentuk minyak goreng kemasan, dan 73,65% dalam bentuk minyak goreng curah (GIMNI, 2014). Di seluruh dunia saat ini, hanya di Indonesia dan Bangladesh saja yang mayoritas penduduknya masih mengkonsumsi minyak goreng curah, sehingga di Asia Tenggara hanya Indonesia saja yang masih menggunakan minyak goreng curah untuk konsumsi rumah tangga.
Di Indonesia minyak goreng curah proses produksinya hanya melalui satu kali penyaringan, atau hanya sampai pada tahap olein saja, sehingga masih mengandung minyak fraksi padat. Dengan kandungan kadar lemak dan asam oleat yang relatif tinggi, menyebabkan warna minyak goreng curah cenderung lebih keruh dibandingkan minyak goreng kemasan.
Selain itu minyak goreng curah yang ada saat ini belum mengandung vitamin A sebagaimana terdapat dalam minyak goreng kemasan. Hal ini karena stabilitas Vitamin A sangat dipengaruhi oleh Oksigen, keasaman (pH), cahaya, waktu, uap air, katalis dan inhibitor. Oleh karenanya vitamin A dapat terdegradasi jika ditambahkan pada minyak goreng yang tidak dikemas. Terbukti bahwa ketahanan Vitamin A hanya 48%, jika difortifikasi pada media yang tidak dikemas selama penyimpanan 9 (sembilan) bulan di tempat terang dan 76 % jika disimpan di tempat gelap. Sedangkan ketahanan vitamin A pada media (minyak) yang dikemas dan disimpan selama 9 bulan adalah 99%.
Fakta menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih mengalami defisiensi zat gizi mikro yaitu sekitar 10-16% termasuk vitamin A didalamnya. Beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kekurangan vitamin A adalah diversifikasi pangan, suplementasi vitamin A dosis tinggi, dan fortifikasi pangan.
Kandidat bahan pangan yang dapat digunakan untuk fortifikasi saat ini adalah minyak goreng. Beberapa alasan yang diutarakan oleh Martianto (2005) yang membuat minyak goreng potensial sebagai kendaraan fortifikasi vitamin A di Indonesia adalah karena minyak goreng merupakan komoditas kedua setelah beras yang dikonsumsi oleh lebih dari 90% penduduk, konsumsi minyak goreng per kapita yang mencapai lebih dari 23 gram (lebih dari 10 gram jumlah minimun untuk fortifikasi), rumah tangga rata-rata menggunakan 1-3 kali minyak goreng untuk penggorengan, stabilitas vitamin A selama penyimpanan dan penggorengan juga telah teruji (retensi selama penggorengan tinggi), dan dibuktikan dengan berbagai penelitian bahwa konsumsi minyak goreng berfortifikasi vitamin A terbukti mampu meningkatkan status vitamin A anak usia sekolah.
Selain itu kondisi minyak goreng curah yang terdapat di pasar dan dikelola oleh distributor, disimpan di tempat terbuka dan dalam bentuk silo atau drum. Minyak goreng curah dalam silo atau drum tersebut dicampur dari berbagai produsen. Hal ini menyebabkan kekaburan siapa yang memproduksi, sehingga menyulitkan untuk dilakukan ketertelusuran produk tersebut. Kondisi ini rawan terjadinya pengoplosan.
Oleh karenanya jika terjadi resiko kesehatan bagi konsumen sulit untuk ditelusuri siapa yang bertanggung jawab, sehingga hak konsumen tidak terlindungi, artinya melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999. Selain itu, kondisi ini menghambat proses sertifikasi halal, karena masalah ketidaktertelusuran dari minyak goreng curah ini.
Pada sisi yang lain, selama dalam rantai distribusi yang panjang dan luas menggunakan sarana angkut kendaraan tanki, minyak goreng curah rentan menimbulkan kecurangan pengoplosan yang secara fisiko-kimia dapat berakibat fatal pada keamanan pangan konsumen. Originalitas minyak goreng curah dari pabrik hingga konsumen juga dipengaruhi sanitasi lingkungan, seperti peralatan angkut (tangki), bongkar muat (pompa & drum), maupun kemasan eceran (plastik kemas), lingkungan pasar tradisional yang umumnya tidak begitu bersih, dan sarana pendukung transaksi lainnya, sehingga faktor hieginitas minyak goreng setelah sampai dikonsumen menjadi meragukan. Selain faktor higienitas, minyak goreng curah juga rentan mengalami fluktuasi harga.
Perbedaan infrastruktur medan tempuh pengantaran antar wilayah, tidak fleksibelnya kendaraan angkut dan gudang penyimpanan yang dapat digunakan (hanya bisa menggunakan kendaraan tanki dan stasiun pompa bongkar muat), defisit volume sepanjang aktivitas distribusi, akan mendorong timbulnya disparitas harga antar wilayah yang pada akhirnya dapat memicu fluktuasi harga. Hal ini berbeda dengan model kemasan dimana sarana dan prasarana distribusi minyak goreng kemasan lebih fleksibel karena dapat menggunakan berbagai jenis kendaraan maupun gudang penyimpanan, sehingga dapat dilakukan sharing manfaat fasilitas sarana dan prasarana.
Dalam rangka menjamin higenitas dan menurunkan kesenjangan fluktuasi harga minyak goreng curah, Kementerian Perdagangan mengeluarkan kebijakan konversi minyak goreng curah ke kemasan sederhana yang diatur dalam PERMENDAG nomor 2 tahun 2009. Menurut PERMENDAG nomor 2 tahun 2009 mendefinisikan bahwa Minyak goreng sawit kemasan sederhana adalah minyak goreng sawit curah yang dikemas dengan merek MINYAKITA yang diproduksi oleh produsen didaftarkan di Kementerian Perdagangan dengan model disain dan spesifikasi kemasan yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan.
Merek MINYAKITA, misalnya, adalah merek untuk minyak sawit kemasan sederhana yang dimiliki oleh Departemen Perdagangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Disain dan spesifikasi kemasan minyak goreng sawit sederhana dengan menggunakan merek MINYAKITA adalah seperti Gambar berikut ini.
Desain kemasan dan merek MINYAKITA
Keterangan disain dan spesifikasi yang sesuai dengan lampiran PERMENDAG No. 2 tahun 2009 adalah :
1. Bentuk kemasan bantal (Pillow Pack);
2. Bahan plastik Poly Ethelene (Mono Layer).
Kandungan MINYAKITA pada dasarnya bukanlah minyak curah yang pada saat ini beredar di pasaran. MINYAKITA merupakan minyak goreng yang sudah mengalami proses penyaringan dua tahap, sehingga kualitas dan komposisinya sama dengan minyak goreng kemasan. Menurut Standar Nasional Industri (SNI) 7709-2012 yang masih melalui kajian mendefinisikan bahwa, minyak goreng sawit adalah “Bahan pangan dengan komposisi utama trigliserida berasal dari minyak sawit, dengan atau tanpa perubahan kimiawi, termasuk hidrogenasi, pendinginan dan telah melalui proses pemurnian dengan penambahan vitamin A”.
Dengan demikian dalam minyak goreng kemasan tersebut dipersyaratkan paling tidak mengandung vitamin A sebanyak 45 IU/gram. Syarat mutu minyak goreng sawit sesuai dengan SNI nomor 7709 tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut.
Syarat Mutu Minyak Goreng Sawit
No | Kriteria Uji | Satuan | Persyaratan |
1 | Keadaan | ||
1.1 | Bau | Normal | |
1.2 | Rasa | Normal | |
1.3 | Warna (lovibond 5,25” cell) | Merah/kuning | Maks. 5,0/50 |
2 | Kadar air dan bahan menguap (b/b) | % | Maks. 0,1 |
3 | Asam lemak bebas (dihitung sebagai asam palmitat) | % | Maks. 0,3 |
4 | Bilangan Peroksida | Mek O2/kg | Maks. 10* |
5 | Vitamin A | IU/g | min. 45* |
6 | Minyak Pelikan | Negatif | |
7 | Cemaran logam | ||
7.1 | Kadmium (Cd) | Mg/kg | |
7.2 | Timbal (Pb) | Mg/kg | |
7.3 | Timah (Sn) | Mg/kg | |
7.4 | Merkuri (Hg) | Mg/kg | |
8 | Cemaran arsen (As) | Mg/kg |
Permendag nomor 2 tahun 2009 sangat didukung dengan peraturan terkait yang lainnya yaitu SNI 7709 tahun 2012 mengenai minyak goreng sawit yang ditindak lanjuti oleh SNI wajib yang didukung oleh PERMENPERIN nomor 87 tahun 2013 mengenai pemberlakuan SNI minyak goreng sawit secara wajib.
Selanjutnya Kementerian Perdagangan juga konsisten dalam melindungi higenitas dan menghindari oplosan terhadap minyak goreng curah melalui peraturan yang dikelauarkan kemudian, yaitu PERMENDAG nomor 80 tahun 2014 tentang Minyak Goreng Wajib Kemasan. Dengan demikian kebijakan tersebut diharapkan dapat melindungi masyarakat Indonesia dari keurangan ketidakterukuran tera dan timbang, pengoplosan dan juga dapat meningkatkan taraf kesehatan yang diharapkan dapat juga meningkatkan usia harapan hidup masyarakat Indonesia.
Sumber kemendag.go.id