Pemerintah mengakomodasi usulan penundaan kewajiban minyak goreng kemasan yang dijadwalkan mulai berlaku April 2017. Alasannya pemerintah perlu mempersiapkan secara matang kebijakan ini terutama terkait fasilitas pengemasan.
Kementerian Perdagangan menyatakan larangan peredaran minyak goreng curah di pasar tidak jadi diberlakukan pada April 2017. Pertimbangannya, pemerintah perlu mempersiapkan secara matang kebijakan ini terutama untuk fasilitas pengemasan.
“Sudah ada beberapa kesepakatan dengan industri minyak goreng. Pertama harga minyak goreng curah stabil pada level angka Rp 10.500 per kilogram sampai akhir tahun ini. Itu yang kita sepakati,” ungkap Enggartiasto Lukita, Menteri Perdagangan, baru-baru ini, di Jakarta.
Kesepakatan berikutnya adalah pemerintah menyadari pengemasan minyak goreng butuh persiapan lebih panjang. Persiapan ini akan diberlakukan secara bertahap mulai tahun 2018 dan penuh dijalankan pada 2020.
Enggartiasto mengakui program kewajiban minyak goreng kemasan harus melalui proses sosialisasi. “Berbagai hal harus disiapkan dari sekarang karena itu ada peta jalannya, tidak mendadak. Kalau begitu mendadak stok, langsung inflasi naik,” jelasnya.
Kebijakan ini sesuai dengan keinginan Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) yang telah mengusulkan program kewajiban minyak goreng agar diundur dari batas waktu sebelumnya 1 April 2017. Mandatori ini sesuai peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 9/M-DAG/PER/2/2016, yang menyebutkan bahwa pemerintah mengundur kewajiban perdagangan minyak goreng dengan menggunakan kemasan menjadi 1 April 2017 untuk minyak goreng berbahan baku sawit.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, pihaknya telah meminta agar penerapan kebijakan minyak goreng wajib kemasan diundur.
Dari persetujuan dengan Kementerian Perdagangan (Kemdag), beleid ini baru akan diterapkan per 1 Januari 2020. Nantinya, mulai 1 Januari 2018 masa transisi dari minyak goreng curah ke kemasan dimulai sampai 31 Desember 2019.
Mundurnya kebijakan minyak goreng kemasan ini disebabkan masih belum siapnya industri minyak goreng untuk membuat pabrik kemasan. Saat ini rata-rata kebutuhan minyak goreng curah per tahun 3,65 ton. Jika harus masuk kemasan semua, maka dibutuhkan 1.522 industri pembuat kemasan. “Nanti kebijakan pengunduran penerapan minyak goreng wajib kemasan ini dikeluarkan sebelum 1 April 2017,” ujar dia.
Sahat menambahkan, soal harga minyak goreng curah yang mahal bukan sepenuhnya salah di pabrik minyak goreng. Sebab saat ini, rata-rata harga minyak goreng curah di pabrik sebesar Rp 9.280 per liter, sudah termasuk PPN. Nah harusnya harga minyak goreng curah ini sampai ke pasar dengan kenaikan maksimum 13% atau sekitar 10.400 per liter.
“Jadi kami agak kecewa juga di pasar pedagang menjual lebih mahal dan pengawasan ke situ harusnya dilakukan pemerintah,” tegasnya.
Selain itu, untuk menekan harga minyak goreng curah tetap rendah, GIMNI telah menyerahkan 26 nama perusahaan besar perkebunan sawit yang menjual bahan bakunya ke industri minyak goreng. Mereka ini juga harus sepakat tidak menaikkan harga bahan baku untuk industri, karena bagaimana pun industri bukanlah pemilik perkebunan sawit.
Lebih lanjut, kata Sahat, asosiasinya juga mengusulkan opsi diterapkan pada 1 September 2017 dengan masa transisi selama 20 bulan sampai 31 Juni 2019. Dan resmi penerapan pada 1 Juli 2019 secara nasional.
Perlu diketahui, dua bulan sebelum pelarangan minyak goreng curah, pengusaha minyak goreng yang tergabung dalam Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) bertemu Enggartiasto Lukita, Menteri Perdagangan, di kantornya yang berada di Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat. Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI, menceritakan dalam pertemuan ini pengusaha menyinggung pemberlakuan larangan minyak goreng curah yang dijadwalkan mulai 1 April 2017.
“Produsen minyak goreng tidak siap dengan aturan menteri perdagangan ini. Kalau tetap dipaksakan bisa chaos,” tegas Sahat.
Aturan yang dimaksud Sahat adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.9/M-DAG/PER/2/2016 yang menyatakan kewajiban minyak goreng kemasan mulai berlaku 1 April 2017 untuk minyak goreng berbahan baku sawit. Beleid ini menggantikan Permendag No.21/2015 yang mewajibkan pengunaan kemasan untuk minyak goreng berbasis sawit pada 1 April 2016.
Kepada Enggartiasto Lukita, Sahat juga menjelaskan ada dua alasan mengapa mandatori minyak goreng kemasan tidak bisa dipaksakan pada Apri 2017. Pertama, bulan Juni tahun ini sudah masuk Ramadan dan jelang perayaan Idul Fitri. Alasan berikutnya adalah produsen minyak goreng belum siap.
Solusinya, GIMNI mengusulkan perbedaan waktu persiapan investasi fasilitas pengemasan antara Jawa dan luar Jawa. Untuk di Pulau Jawa, masa transisi mulai berlaku pada 1 Juni 2017 selama 18 bulan. Sedangkan di luar Jawa, kata Sahat, diusulkan masa transisi selama 16 bulan mulai 1 September 2017.
“Tetapi pak menteri tidak setuju. Maunya berlaku secara nasional dengan masa transisi dari 1 September 2017 hingga 31 Juni 2019. Artinya 1 Juli 2019 resmi berlaku nasional,” cerita Sahat.
Dalam hitungan GIMNI, program mandatori minyak goreng kemasan butuh dukungan 1.522 mesin pengemasan di 140 lokasi kabupaten dan kota. Masing-masing mesin pengemasan berkisar 5-6 line di Pulau Jawa. Alasannya, konsumsi minyak goreng di Jawa tergolong sangat besar, mencapai 60% dari total konsumsi nasional. Sedangkan luar Jawa, mesin pengemasan perlu sekitar 3 line.
Baca Juga Artikel Ini :
5 Kemasan Minyak Goreng Ini Dongkrak Daya Saing Produk
Cantumkan Ijin SNI Pada Kemasan Minyak Goreng, Daya Saing Produk Meningkat!
Menurut Sahat, pemasangan line yang merata di seluruh daerah bertujuan mencegah gejolak harga minyak goreng. Itu sebabnya pemerintah daerah bersama koperasi setempat perlu terlibat. Pembangunan fasilitas pengemasan diperkirakan menyerap tenaga kerja sebanyak 8.000 orang.
“Memang kesepakatannya Menteri Perdagangan minta harga bisa dijaga supaya tidak menimbulkan inflasi besar,” ungkap Sahat.
Mundurnya penerapan kebijakan wajib kemasan pada minyak goreng curah sudah terjadi beberapa tahun belakangan. Niatan mengubah kemasan minyak goreng curah menjadi lebih higienis mulai digagas pada 2011.
Kala itu, Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu di era pemerintahan SBY menyebutkan, pemerintah sedang mendorong masyarakat agar beralih dari minyak goreng curah ke minyak goreng kemasan yang memiliki mutu lebih baik dan sehat.
“Diperlukan waktu hingga 2014 untuk menggantikan seluruh minyak goreng curah ke dalam kemasan,” kata Mari.
Tetapi upaya menghilangkan minyak goreng tanpa kemasan tidaklah mudah. Setiap tahun, Kementerian Perdagangan merevisi beleid mengenai kewajiban minyak goreng curah. Alasan utama adalah ketidaksiapan fasilitas pengemasan.
“Sering saya katakan kepada menteri perdagangan ini bukan persoalan keluar kepmen terus jalan. Pemerintah perlu tanggung jawab supaya terealisasi. Pelaku usaha sifatnya membantu saja,” pinta Sahat.
Dari kebutuhan 1.522 packing machine, baru ada 90 packing machine yang dimiliki anggota GIMNI. Di luar jumlah tadi, industri pengemasan baru ada 15 packing machine. Sahat Sinaga mengakui penambahan fasilitas packing line diperkirakan butuh investasi dalam kisaran Rp 3 miliar-Rp 4 miliar.
Total investasi packing line di seluruh Indonesia diperkirakan berkisar Rp 3,6 triliun-Rp4 triliun. Di seluruh Indonesia, jumlah refinery sebanyak 86 unit. Dari anggota GIMNI, baru 18 unit refinery yang terdaftar mengajukan MinyakKita.